PerihalOrang Miskin yang Bahagia. Cerpen Agus Noor. 1. "AKU sudah resmi jadi orang miskin," katanya, sambil memperlihatkan Kartu Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari kelurahan. "Lega rasanya, karena setelah bertahun-tahun hidup miskin, akhirnya mendapat pengakuan juga.". Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat Kehidupan Si Miskin Hello Readers! Kali ini, saya akan bercerita tentang kehidupan seorang yang sering dijuluki sebagai si miskin. Siapa sangka, di balik kesederhanaan hidupnya, ada banyak kisah inspiratif yang bisa kita ambil miskin adalah seorang pria yang hidup di sebuah desa kecil di pinggiran kota. Dia tidak memiliki pekerjaan tetap dan hanya mengandalkan hasil panen dari lahan sawah yang dia miliki. Meskipun kehidupannya tidak seberapa, dia selalu bersyukur atas apa yang dimilikinya. Kebersamaan Keluarga Si Miskin Meskipun hidup dalam kesederhanaan, si miskin selalu merasa bahagia karena memiliki keluarga yang selalu bersama-sama. Setiap malam, mereka berkumpul di bawah tenda untuk makan malam bersama. Meskipun makanan yang disajikan tidak selalu cukup, mereka tetap merasa puas dan bersyukur atas apa yang ada. Kejujuran Si Miskin Si miskin dikenal sebagai orang yang jujur dan tidak pernah berbohong. Ketika ada tetangganya yang meninggalkan uang di jalan, si miskin selalu mengembalikannya ke pemiliknya. Meskipun hidup dalam kesulitan, ia tidak pernah mengambil barang milik orang lain. Keikhlasan Si Miskin Di suatu hari, si miskin diberi sejumlah uang oleh seorang teman. Namun, uang tersebut ternyata sudah rusak dan tidak dapat digunakan lagi. Si miskin dengan ikhlas mengembalikan uang tersebut dan berkata bahwa dia tidak bisa menerima uang yang tidak bisa digunakan. Keberanian Si Miskin Suatu hari, sebuah banjir besar melanda desa tempat tinggal si miskin. Air yang naik dengan cepat mengancam keselamatan keluarganya. Tanpa ragu-ragu, si miskin memimpin keluarganya serta tetangganya untuk mencari tempat yang lebih tinggi dan aman. Karena keberaniannya, mereka berhasil selamat dari bencana banjir tersebut. Ketabahan Si Miskin Meskipun hidup dalam kesulitan, si miskin tidak pernah menyerah dan selalu berusaha untuk mencari jalan keluar dari masalahnya. Dia selalu berpikir positif dan percaya bahwa ada jalan keluar dari setiap masalah yang dihadapinya. Kesimpulan Dari cerita si miskin, kita bisa belajar banyak tentang arti kehidupan. Bahwa tidak selalu kekayaan yang membuat kita bahagia, tetapi kebersamaan, keikhlasan, kejujuran, keberanian, dan ketabahan adalah hal-hal yang lebih penting. Kita juga harus selalu bersyukur atas apa yang dimiliki dan tidak pernah menyerah dalam menghadapi jumpa kembali di artikel menarik lainnya, Readers!
CerpenTangan menceritakan kehidupan sebuah keluarga yang walaupun miskin namun selalu berusaha untuk berbuat jujur. Sampai suatu hari kejadian naas itu terjadi. Malam itu Susilo-tokoh utama dalam cerpen-melangkah gontai dalam gelap malam. Ia merasa putus asa karena tidak bisa mendapatkan beras untuk makan keluarganya hari ini.
Namaku Mutiara. Aku anak satu-satunya di keluarga kecil ini. Ayah dan ibu pernah bilang, nama itu tercipta karena aku adalah perhiasan dan harta satu-satunya yang paling berharga. Bisa saja itu benar karena ayah dan ibu memang tak punya harta apa pun sejak pergi dari desa. Ayah dan ibu merantau ke Jakarta karena diiming-imingi teman untuk mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Setelah menjual segala yang mereka punya dan berangkat ke Jakarta, teman ayah justru hilang bawa kabur uang tersebut. Ayah dan ibu terpaksa menguras tenaga yang tersisa untuk bekerja serabutan. Pulang ke desa sudah tidak mungkin, uang sudah tak bersisa. Lagipula, keduanya sudah kelewat malu menampakkan wajah ke orang-orang desa. Di kota yang penuh luka ini, kami tinggal di kos murah yang sering mati listrik. Untuk membantu ayah dan ibu, aku berjualan gorengan keliling. Kadang saat hujan, aku menemani ayah berjualan jas hujan di pinggir jalan. Di waktu senggang, aku menawarkan jasa pijat dan bersih-bersih. Baca juga Air Mata untuk Arcana Aku benar-benar harus bersyukur bukan? Pemilik kos kami, Ibu Vina, sangat baik, terutama jika dibandingkan ibu-ibu kos sebelumnya. Mereka biasanya mengusir kami setelah tak sanggup membayar uang kos. Ibu Vina juga sering memberikan pekerjaan membereskan rumah kepada ibu setelah acara hajatan. Ibu Vina juga enggan menaikkan biaya kos karena iba. Sebagai gantinya, Ibu Vina memintaku membersihkan kamar-kamar kos kosong yang harus siap sebelum penghuni baru tiba. Malam ini, listrik lagi-lagi padam serentak. Di minggu ini saja, sudah tiga kali pemadaman listrik terjadi. Untungnya, rumah mewah yang berjarak 2 menit dari kos masih terang-benderang. Kami bersyukur lampu-lampu rumah dengan pagar yang tingginya dua kali lipat dari tubuhku itu, sedikit menyinari kami. Hanya sedikit, karena kami mendapatkan bayangan lampu di balik tembok pemisah yang juga sama tingginya. Malam ini, aku sendirian di kamar. Ayah dan ibu belum pulang karena tengah diminta membantu acara hajatan anak ketua RT. Aku bergegas mencari lilin sisa kemarin di bawah tumpukan baju kotor ayah. Lalu aku berjalan ke pintu, merogoh kantong jaket Ayah untuk mencari korek api. Aku menyalakan lilin yang tinggal sepertiga itu dengan hati-hati. Seketika kamar sempit ini dihiasi cahaya remang-remang. Sudah lebih baik. Sudah jauh lebih baik. Aku kali ini harus benar-benar bersyukur, bukan? Aku melihat bayanganku terpantul di dinding. Terkenang masa-masa lampau ketika ayah mencoba mengusir rasa takutku dengan membuat bayang-bayang hewan dengan jarinya. Ayah akan membuat bayangan burung, kelinci, rusa, kucing, ular, siput, banteng, dan gajah. Masih terngiang suara ayah yang terkekeh melihat aku kikuk dan kesulitan menirukan gerak jemarinya. Aku bahagia saat itu. Aku menatap cermin yang berada di samping kanan bayangan. Cermin retak itu memantulkan bayangan lilin dengan cantik. Aku menirukan bayangan bebek dan burung yang menurutku terlalu mudah. Dalam remang-remang, aku bergeser mendekat ke arah cermin untuk melihat bayanganku lebih jelas. Ada bayang-bayang perempuan cantik dengan tas mentereng. Ada bayang-bayang laki-laki tampan menjemput dengan mobil dan membawaku makan di restoran mewah. Aku melihat baju-baju bermerek tersusun rapi di lemari kaca. Aku melihat perhiasan berebut melingkari leher dan lengan. Aku melihat rumah-rumah dengan pilar-pilar tinggi menjulang. Aku melihat… …lilin habis. Baca juga Meneguk Air Mata Aku menghela napas panjang. Dengan setengah meraba, aku beranjak mencari lilin lainnya di pojok ruangan dan menyalakan lilin baru yang juga tinggal sepertiga. Aku menggeser tumpukan kain dan menaruh lilin dengan hati-hati di samping cermin. Aku ingin melihat bayang-bayang lain lagi. Bayang-bayang yang lebih menarik dari bayangan yang ayah buat. Bayang-bayang yang lebih menarik dari hidupku yang membosankan. Listrik menyala. Ayah dan ibu mengetuk pintu. Aku menatap ayah dan ibu dengan tatapan kecewa untuk pertama kalinya. Aku menatap wajah mereka yang renta dan keriput. Aku tahu sedang menatap kemiskinan. Mereka pun hidup dengan bayang-bayang kemelaratan yang setia. Menatap bayangan di cermin kini menjadi rutinitasku setiap lampu padam. Aku menanti-nanti kapan selanjutnya pemadaman listrik agar aku bertemu dengan bayang-bayang baru. Aku sudah menyiapkan sketsa bayangan-bayangan Bayangan bepergian keliling dunia, melanjutkan pendidikan di kampus ternama, bekerja di gedung tinggi ber-AC, berkeliling butik terkenal, memiliki mobil mewah, memiliki kekasih serupa pangeran tampan, undangan pernikahan yang megah, dan bahkan…aku memiliki bayangan lahir di keluarga yang berbeda. Bayang-bayang itu semakin lama semakin kabur seiring dengan seringnya aku mencari. Bayangan yang indah digantikan dengan bayang-bayang diriku Rambut kusut, wajah kusam, alis yang tidak rata, hidung yang pesek, badan yang tidak tinggi, bunyi kipas rusak, lengking pertengkaran tetangga, lilin yang hampir habis, serta hidup yang menyedihkan. Bayangan di cermin semakin lama semakin tidak menyenangkan. Kadang-kadang muncul bayangan ibu menangis, atau bayangan ayah berjalan menjajakan jas hujan sendirian. Bayangan piring kotor yang belum dicuci, jemuran pakaian yang belum diangkat, pintu kamar mandi yang susah dibuka, kotoran cicak, atau hanya bayangan asap obat nyamuk bakar. Aku berusaha mencari-cari bayangan lainnya yang semakin lama semakin menghilang. Aku menepuk-nepuk cermin dengan keras. Ini bukan bayangan yang kuinginkan! Bukannya bayangan yang muncul, retakan cermin justru semakin melebar. Aku jadi takut berada di kamar saat lampu padam. Aku cemas saat ayah dan ibu belum kembali. Setelah bayang-bayang yang indah menghilang sepenuhnya, bayangan-bayangan yang lebih buruk muncul dan memenuhi cermin lebih cepat. Aku melihat diriku berubah menjadi orang lain. Aku melihat tubuh mungilku terkelupas, hancur menjadi keping-keping dan digantikan oleh orang lain. Aku melihat bayangan diriku menangis sendirian. Aku tidak lagi dapat mengenali diriku sendiri. Itu bukan bayangan, ternyata. Itu adalah diriku sendiri. Air mata mengalir di pipiku. Dadaku sesak dan napasku tidak teratur. Aku menangis tanpa mengeluarkan suara. Dalam sedihku yang teramat sangat, aku mengumpulkan sisa tenaga dan menarik cermin tersebut ke lantai. Cermin itu pecah berkeping-keping. Bayanganku pecah menjadi beribu bayangan kecil. Aku memunguti pecahannya, menyapu sisa-sisa butiran kecil yang tersisa, dan membuangnya ke tempat sampah. Baca juga Hilangnya Sono Suara ketukan. Ibu pulang. Aku membuka pintu. Ibu melemparkan senyum ke arahku di antara bajunya yang lusuh dan keringat yang bercucuran. Di tangannya tersedia nasi bungkus. “Mutiara, ini ibu bawakan makan dari Ibu Tini,” tuturnya lembut. “Wajahmu pucat, maaf ya, Ibu pulang terlalu larut. Ayah masih di luar, kita makan saja duluan,” lanjutnya sambil mengelap piring. “Ibu…maaf, aku tidak sengaja menyenggol cerminnya. Sudah aku buang dan bereskan,” kataku sambil menggigit bibir. Ibu mendekatiku dalam tatapnya yang sayu, “Tidak apa-apa. Buat ibu, yang penting kamu tidak terluka bukan? Ada banyak cermin lain di dunia ini, Mutiara. Tapi hanya satu untuk cermin dalam diri sendiri.” Aku memeluk ibu erat-erat dan menangis dalam pelukannya. Ibu mengelus kepalaku sembari mengucap maaf tanpa suara. Ibu, aku akan hidup dalam bayanganku sendiri. Post Views 234
Muhadjir Sesama Keluarga Miskin Besanan, Lahir Keluarga Miskin Baru. News. Close
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Identitas CerpenJudul Cerpen Perihal Orang Miskin Yang BahagiaNama Penggarang Agus NoorPenerbit LakonhidupTahun Terbit 2010PendahuluanPerihal Orang Miskin Yang Bahagia menceritakan tentang orang miskin yang baru diakui kemiskinannya. Dia pernah mau mengubah garis hidupnya yang buruk tetapi tidak bisa karena dia ditakdirkan untuk menjadi miskin. Dia dengan bangga memamerkan kemiskinannya. Walaupun mereka miskin tetapi keluarga mereka sangat bahagia dan selalu bekerja dengan ulet. Isi Resensi Kelebihan dan Kekurangan CerpenKelebihan Ceritanya bagus dan menarik. Disaat orang menceritakan tentang kemewahannya cerpen tersebut justru menceritakakn tentang orang miskin yang bahagia dengan sederhana dan mudah dipahamiGaya bahasanya sederhana tidak terlalu rumitKekurangan Tidak ada konflik yang rumitTidak ada nama tokoh SimpulanCerita tersebut mudah dipahami. Dapat dibaca oleh segala usia baik remaja maupun orang tua. Memiliki nilai moral yang baik,yaitu untuk selalu mensyukuri apa yang diberikan oleh Allah SWT. kepada bisa ditambahi beberapa konflik,agar lebih menarik untuk bisa diberi keterangan nama tokoh,agar pembaca tidak bingung saat membaca Lihat Hobby Selengkapnya siapayg bisa tahan untuk tidak meneteskan air mata bila liat video ini mungkin ga kuat pasti akan meneteskan air mata
Cerita sedih keluarga yang miskin adalah cerita pendek sedih tentang keluarga yang kehidupannya tidak beruntung ditulis dalam bentuk cerita mini cermin.Dalam kisa tentang keluarga miskin yang dipublikasikan blog fiksi menceritakan tentang seorang ibu yang pergi mencari makan, namun setelah pulang ke rumah anaknya lebih jelasnya cerita keluarga sedih disimak saja cermin berjudul redup, dibawah Redup Athor Azizah Zee"Bang, jaga adik ya. Emak mau keluar cari makanan dulu," kataku pada sulung seraya meraba dahi di mengangguk perlahan, seraya membetulkan letak selimut dengan datangnya gemuruh petir, aku segera beranjak dari gelungan selimut lusuh. Tak kuhiraukan titik air yang lantas turun berkejaran dengan kubangan air menjil^t kakiku di tiap jengkalnya. Tak ada sanak saudara yang sudi peduli. Sepertinya aku harus mencari segala tikungan jalan depan, tampak beberapa gerobak makanan berjajar. Betapa perutku perih."Bang, apakah saya boleh mencuci piring di sini? Saya sangat membutuhkan makanan untuk anak di rumah yang sedang sakit."Aku mendatangi gerobak nasi goreng paling Abang memandangiku dari atas hingga bawah."Tidak ada piring kotor, Neng. Maaf, ya," mendatangi gerobak kedua, jawaban yang kuterima sama. Gerobak ketiga, hingga gerobak terakhir. Mereka juga sedang menunggu pembeli sampai larut yang melekat di badan basah kuyup. Menggigil. Kuraba perut, makin perih dua jam berjalan, tak jua kutemui makanan. Baiknya aku pulang dulu menengok anak-anak. Aku khawatir bocor atap rumah semakin membuat mereka kedinginan, terlebih semenjak pagi hanya sepotong singkong masuk ke perut depan pintu rumah, kudengar suara tangisan yang menyayat. Suara tangisan siapa itu? Apakah karena sangat lapar, sampai mereka menangis seperti itu?Kubuka pintu perlahan, agar tidak membangunkan si bungsu yang sedang sakit. Aku terpaku mendapati si sulung si bungsu masih terpejam, sama seperti saat aku meninggalkan mereka. Ingin mendekat, entah mengapa aku takut. Sulung terus saja mengguncang tubuh adiknya. Aku Sudut, 13 Agustus 2021
Pertemuandengan Pak Alan yang dulunya orang miskin, membuatku menjadi sadar dan malu dengan kehidupanku saat ini. Memang benar apa yang dikatakan oleh Pak Alan. "Miskin harus Bermartabat. Jika sudah kaya, harus Bermanfaat". Sungguh pertemuan dengan seorang Pak Alan yang luar biasa. Cerpen Karangan: Fajar Rofinanda Facebook: Nanda Chitter
Abstrak Makalah ini bertujuan untuk mengungkap tema cerita pendek Hamsad Rangkuti berjudul Karjan dan Kambingnya. Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan struktural. Pendekatan ini menganalisis unsur-unsur struktur yang membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau keterkaiatan unsur-unsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna. Dalam pembahasan, aspek sintaksis, semantis, dan pragmatis cerita pendek tersebut dikaji untuk mengungkap tema cerita. Kata Kunci Tema kemiskinan, aspek sintaksis, aspek semantis, aspek pragmatis I. LATARBELAKANG Dalam kata pengantar kumpulan cerpen Hamsad Rangkuti, Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa Hamsad Rangkuti mampu menangkap detil suatu objek atau peristiwa yang kadang terlewatkan oleh kita. Sampah Bulan Desember, 2000 xii. Cerpen-cerpen Rangkuti banyak menyoroti kehidupan orang-orang miskin. Ia dianggap mampu merepresentasikan 1 masyarakat miskin dalam karya-karyanya. Rangkuti mencoba untuk menggugah kepedulian kita terhadap masyarakat miskin yang sering ditelantarkan dan di tempatkan dalam posisi marjinal. Sehubungan dengan hal tersebut, makalah ini bertujuan untuk mengungkap tema salah satu cerpen Hamsad Rangkuti yang berjudul Karjan dan Kambingnya. Pembahasan didasarkan pada landasan berfikir kaum strukturalis yang menganggap teks sebagai sebuah bentuk otonom. Kaum strukturalis berpendapat bahwa untuk memaknai sebuah teks karya sastra, kita harus menempatkan teks 1 Meski banyak definisi untuk kata representasi, dalam pembahasan ini penulis mendefinisikan representasi sebagai ciraan atau gambaran. Dani Cavallaro, Teori Kritis dan Teori Budaya Yogyakarta Niagara, 2004, hlm. 69.
Cerpenkeluarga tak mampu yang berjudul kubuang rasa malu demi anakku adalah cerita tentang keluarga miskin yang anaknya ingin sekolah tapi tak mampu membayar uang pendaftaran sekolah. Untuk lebih jelasnya cerita keluarga yang kurang mampu tersebut disimak saja cerpen pendek atau cerita mini dengan judul kubuang rasa malu demi anak dibawah ini.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Cerpen Pak Miskin dan Kartu MiskinnyaAwan berarak. Cerah sekali warnanya. Biru dan membiru sebagai penghias langit nan tinggi. Mengornamen pagi itu. Seorang lelaki tampak bergegas. Langkahnya cepat sekali. Kantor Kelurahan menjadi targetnya. Hari itu lelaki yang bersandal jepit butut dengan baju kaos partai dan celana pendek bola datang ke Kantor kelurahan. Tujuannya amat jelas, memenuhi undangan kelurahan yang diterima istrinya kemarin sore." Alahmdulillah Bu. Akhirnya kita tercatat sebagai orang miskin. Dan kita sudah sah sebagai warganegara miskin," ujarnya kepada istrinya usai membaca surat yang diberikan istrinya. Istrinya hanya terdiam. Bingung. " Kok bangga sekali jadi orang miskin," pikir istrinya sembari berlalu meninggalkan sang suami yang masih menatap surat dari kelurahan itu dengan wajah sumringah. Seolah-olah baru saja memenangkan undian lotere berhadiah milyaran dari kantor kelurahan, lelaki miskin itu tak langsung pulang ke rumah. Tujuannya kini ke pasar. menemui rekan-rekan sejawatnya. Tukang parkir, tukang becak, dan sejumlah profesi lainnya yang koheren dengan profesi tak berdaya ledak tinggi sepertinya dirinya sebagai pemulung. lelaki itu ingin mengabarkan kabar bahagia yang diterimanya. Dan kabar gembira ini harus diketahui oleh rekan sejawatnya biar mareka mendapatkan juga predikat orang miskin dari Pemerintah." Kamu ini kok aneh. aneh sekali. Bahagia banget dapat kartu miskin," tanya rekannya yang berprofesi sebagai tukang tabal ban." Kamu harus tahu dan pahami bahwa dengan kartu ini kita telah mendapat legitimasi dari pemerintah sebagai orang miskin. Sah sebagai orang miskin. Tak perlu didata lagi," ungkapnya dengan nada suara gembira." Betul sekali. buat apa kita selama ini didata. Ditanyain ini itu. Memusingkan kepala. Ujung-ujungnya tetap miskin,' bela rekannya." Nah sekarang saya mau tanya?Apa keuntungannya dapat kartu miskin," tanya temannya lagi dengan rasa penasaran." Banyak keuntungan yang akan kita dapati. Ntar kamu kalau sudah dapat kartu baru bisa merasakan saktinya kartu ini. Sekarang saya mau pulang. mau mengabarkan kepada istri kabar bahagia ini," katanya sambil meninggalkan rekan-rekannya yang masih miskin itu tidak pernah merasa sedih dengan nasib miskinnya. Sama sekali tak protes dengan nasib keluarganya juga miskin. Ayahnya cuma seorang penarik becak. Adiknya juga sama. Meneruskan profesi Ayahnya sebagai pembecak. Demikian juga dengan adik perempuannya. Hanya sebagai buruh cuci harian di miskin itu juga tak pernah protes kepada Tuhan soal kenapa dirinya miskin. Apalagi kepada pemerintah. Bagi lelaki miskin itu kemiskinan dirinya dan keluarga sudah menjadi takdir hidup yang tak bisa dilawan. apalagi diprotes sebagaimana demo protes yang sering dilihatnya di televisi milik tetangganya. " Buat apa protes? tak ada gunanya. Vma buang-buang waktu saja,' ungkapnya sewaktu temannya mengajak dirinya protes ke Pak RT kenapa mareka tidak dapat beras miskin." Toh mareka punya data kok siapa warga miskin di RT kita. jangan-jangan kita bukan warga miskin,' ujarnya sembari ketawa yang membuat temannya langsung lelaki itu merasa tak perlu susah lagi kalau ada pembagian beras buat warga miskin. dirinya sudah punya kartu miskin dari negara. Dirinya tak perlu mengantri lagi kalau ada pembagian sembako murah. dirinya suda punya kartu miskin." Makanya kamu harus dapat kartu miskin dari negara kalau kamu mau tidak mau antri kalau ada pembagian sembako," pesannya kepada teman-temannya. 1 2 Lihat Cerpen Selengkapnya
Selainitu, banyak pelajaran mengenai kehangatan keluarga serta persahabatan yang bisa diambil dari drakor besutan sutradara Shin Won-Ho ini. Sinopsis Reply 1988. Drama ini bercerita tentang persahabatan lima remaja SMA beserta keluarga mereka yang hidup bertetangga di Ssangmun-dong, distrik Dobong, Seoul bagian utara.
Cerpen keluarga tak mampu yang berjudul kubuang rasa malu demi anakku adalah cerita tentang keluarga miskin yang anaknya ingin sekolah tapi tak mampu membayar uang pendaftaran lebih jelasnya cerita keluarga yang kurang mampu tersebut disimak saja cerpen pendek atau cerita mini dengan judul kubuang rasa malu demi anak dibawah Rasa Malu Demi Anak Author Reski PurnamaWajahnya terlihat murung, setelah tahu bahwa aku tidak punya uang sebanyak itu. Pulang dari ladang, dia memberi kabar bahwa dia diterima di sekolah yang dia inginkan."Pah, aku diterima. Senin depan harus mendaftar ulang.""Berapa uang pendaftarannya, Nak?""Satu juta tiga ratus tujuh puluh lima.""Hmm, iya akan apah usahakan."Nominal yang anakku sebutkan itu tentu saja tidak ada. Kerja sebulan pun aku belum tentu bisa memegang uang sebanyak aku ayah yang tidak sempurna. Tetap miskin walaupun kerja siang aku pungkiri jika selalu menunggak bayar uang sekolah mereka.'Nak, maafkan papah.'**Usai makan malam. Anakku kembali menanyakan hal itu. Maklum waktu pendaftaran pun dibatasi pihak sekolah, lewat batas akhir berarti dianggap hangus."Pah, gimana? Atau aku sekolah di SMA saja? Kalau di SMA biaya masuknya cuman lima ratus ribu."Aku menelan ludah yang hampir kering. Jangankan lima ratus, bahkan dompet ini tak berpenghuni sedikitpun."Sabar ya, Nak. Pokoknya akan apah usahakan.""Hmm, baiklah."**"Abang punya uang? Mau minjam kemana lagi? Udahlah, aku lebih baik dia berhenti sekolah dari pada anak tua kita." Istriku berucap tanpa berpikir lebih sengaja, ternyata anakku itu mendengarnya, aku lihat dia menangis tertahan. Aku mengerti pasti hatinya terluka."Kamu jangan bicara begitulah, Ma. Bagiku anak-anakku akan tetap aku sekolahkan bagaimana pun caranya.""Ya terserah, Abang."Hari-hari mulai berlalu, aku lihat dia berusaha tegar, semakin membuatku merasa bersalah. Dia masih beraktifitas seperti biasa, hanya sering terlihat kali teman-temannya datang karena dia belum juga mendaftar ulang. Dia hanya menjawab dengan senyum yang menuruti semua keinginan ibunya. Bahkan tidak mengapa ikut berendam di air yang keruh walaupun lisan ibunya sudah menyayat harinya aku berpikir keras. Mungkin ada jalan keluar yang lain. Hingga akhirnya aku putuskan untuk mengemis ke pihak harinya, sebelum mulainya masa orientasi siswa-siswi baru. Aku dan dia berangkat ke sekolah menemui kepala yang bersangkutan."Pak, apakah boleh anak saya sekolah dulu, uang pendaftaran belakangan."Waka siswa itu tercenung sejenak. Aku tidak tahu pasti apa yang dia pikirkan. Apakah dia mencemoohku dalam hatinya, ntahlah."Saya tidak bisa memutuskan, Pak. Mungkin lebih baik bapak datang ke sekolah besok."Aku mengangguk, kami pun pamit pulang. Ke esokan paginya aku penuhi janji untuk datang langsung ke sekolah. Kulihat anakku sudah berkemas memakai baju putih abu-abu bekas kakaknya berangkat mengantongi uang seratus enam puluh sembilan ribu. Sesampainya di sekolah, aku masuk ke ruangan tata usaha. Di sana banyak guru dan kepala diminta bicara langsung dengan kepala sekolahnya. Tanpa malu aku memohon kepada kepala sekolah."Pak, tolonglah. Izinkan anak saya sekolah dulu. Uang pendaftarannya menyusul."Beberapa kali kepala sekolah itu menarik napas panjang dan membuangnya dengan kasar."Mana anak Bapak itu?"Aku bergegas memanggil anakku ke luar. Di dekat tiang, aku lihat dia menangis sambil kedua netranya terus memandang barisan teman-temannya yang sedang MOS."Nak, ayo masuk. Jangan menangis."Dia masuk setelah menghapus air matanya. Kepala sekolah langsung melontarkan beberapa pertanyaan."Benar kamu ingin sekolah di sini?""Iya, Pak.""Kenapa tidak di SMA? Di sini kan biayanya mahal.""Nggak, Pak. Pengen di sini, biar bisa kerja tamat dari sini.""Rangkingnya gimana?"Dengan sangat jujur anakku memeberi tahu seluruhnya. Mulai rangking SD sampai SMP."Kok bisa dapat rangking 14 pas SMP?""Banyak yang lebih pintar, Pak.""Masa mau kalah begitu saja? Pasti waktu itu malas ya.""Nggak, Pak.""Hmm, kamu boleh sekolah di sini. Asalkan kamu janji, Bapak mau lihat kamu jadi juara. Sanggup?""Iya, Pak. Inshaa Allah."Aku lega setelah mendengar ucapkan kepala sekolah. Akhirnya anakku bisa sekolah juga. Uang yang aku bawa seluruhnya aku berikan untuk membayar uang mengapa aku pulang jalan kaki, menempuh jarak 2,5 km. Semua demi anakku, karena itu adalah e l e s a i
PJZt0.
  • m1l2yqg8ud.pages.dev/155
  • m1l2yqg8ud.pages.dev/53
  • m1l2yqg8ud.pages.dev/166
  • m1l2yqg8ud.pages.dev/330
  • m1l2yqg8ud.pages.dev/378
  • m1l2yqg8ud.pages.dev/157
  • m1l2yqg8ud.pages.dev/128
  • m1l2yqg8ud.pages.dev/161
  • m1l2yqg8ud.pages.dev/270
  • cerpen tentang keluarga miskin